Thursday, June 4, 2009

SWADHARMA UMAT HINDU DENGAN PELAKSANAAN DANA PUNIA


    Ajaran dana punia dijumpai dalam berbagai pustaka suci terutama bagian Smertinya, bahkan dalam Upanishad (Chandogya Upanishad) telah tercantum, pengamalan ajaran tersebut, secara traditional telah dilaksanakan oleh umatnya melalui kegiatan ritual keagamaan, praktek, dana punia selalu dikaitkan
    Tujuan Pembangunan Nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, yang sejahtera lahir batin, yang searah dengan: tujuan agama Hindu yaitu Jagathita dan moksa. Bahwa sebagai akibat dari derasnya pembangunan nasional didasarkan tumbuhnya kemampuan umat yang lebih tinggi dan di lain pihak timbullah berbagai masalah yang perlu mendapat perhatian kita melalui dana punia itu.
    Memotivasi umat Hindu untuk berdana punia terutama bagi yang mampu, kemudian secara berkoordinasi diarahkan untuk membantu mereka yang tidak mampu, adalah suatu hal yang sangat mulia untuk mewujudkan kesejahteraan sosial itu. Pengamalan ajaran dana punia yang secara tradisional dilaksanakan lewat ritual keagamaan dari kelembagaan adat, perlu diangkat ke permukaan, kemudian diarahkan kepada sasaran yang lebih luas.



      Pengertian dana punia.
      Dana punia terdiri dan dua kata, yaitu dana yang artinya pemberian, punia, berarti selamat, baik, bahagia, indah dan suci. Jadi dana punia adalah pemberian yang baik dan suci. Landasan Filosofis : Tat Twam Asi.


    1. Landasan sastra:



      1. Weda Smrti (lontar).


      2. Manawa dharma sastra Bab IV, sloka 33, 226.


      3. SarasamuƧcaya sloka Nomor 175, 176, 192, 198, 217,
        178, 207, 210, 211, 182, 183, 184, 222, 181, 202,




Semangat Yajna dalam bentuk punia dalam Bhagawadgita di katakan bahwa: seseorang jangan pernah berhenti melaksanakan Yajna, Tapa, dan Dana. Karena ketiganya akan menyucikan seseorang. Pertanyaan yang muncul adalah Yajna, Tapa dan Dana yang seperti apa dapat menyucikan diri manusia? Sudah jelas yang didasari ketulusan, kerelaan dan welas asih serta semua itu tidak semata-mata karena kebetulan, tetapi dilakukan dalam semangat dan kesadaran.



Berpahala tidaknya punia itu, demikian juga Tapa dan Yajna yang dilakukan umat berpulang pada tulus tidaknya umat melakukan aktivitas dimaksud. Sebab hanya semangat yang didasari ketulusan akan memberikan pahala kesucian bagi kita semua.



Pergolakan Pemikiran Seputar Dana Punia


Ada fenomena menarik dari wacana dana punia yang pernah berkembang beberapa waktu yang lalu. Dua kubu yang menyoroti keberadaan "Dana Punia" mesti dirumuskan ke dalam perangkat formal (baca : Bhisama), yang terkesan semangatnya adalah keharusan dan "dipaksakan". Serta kubu yang tetap menganggap bahwa "punia" adalah urusan tulus tidaknya umat dalam memberikan punianya bagi siapa saja dan dalam bentuk apa saja. Artinya bahwa keterpanggilan untuk beryajna dalam bentuk "punia" lebih mulia bila tidak didasari keterpaksaan.



Bila dicermati fenomena dualisme pemikiran tersebut sesungguhnya tidak menjadi fenomena yang barit. Menyimak tulisan AA, Rai Dwipayana (Bali Post tanggal 6 Nopember 2002, hal 11) dikatakan : Apakah Hindu ingin menerapkan punia itu seperti dalam kehidupan bernegara? Selayaknya pajak bagi setiap orang? Jelas dimensi wacana tersebut adalah menolak upaya-upaya pemaksaan terhadap keinginan umat dalam berdana punia.



Fungsi retributif yang dijalankan agama mestinya tidak layaknya negara, yang dengan fungsi autoritatifnya dapat memaksa siapa saja dalam wadah negara dimaksud. Agama terlebih Hindu sangat kuat berpegang pada "Satyam, Sivam, Sundaram dan Asih, Punia, Bhakti dalam segala aspek kehidupannya.


Kendati "Bhisama" dikatakan sebagai penegasan kembali semangat dana punia oleh umat, namun dalam hal ini tentunya perlu dicermati secara lebih mendalam. Sebab permasalahan dana punia bukan saja masalah ketidak-percayaan umat terhadap institut atau lembaga keumatan, lebih lagi adalah sebagai wujud, theologis yang berkaitan dengan konsepsi Ketuhanan dalam agama Hindu. Hal ini perlu dicatat bahwa Hinduisme tidak didasarkan pada sederetan agama yang dikhotbahkan oleh sekelompok guru tertentu. Hinduisme lepas dari kefanatikan (Sivananda, 1993: 2) Hinduisme, tidak seperti agama-agama lain, tidak secara dogmatif menyatakan bahwa pembebasan akhir dimungkinkan hanya dengan caranya sendiri, yang tidak dimungkinkan cara lain. Konsep itu jualah yang diharfiahkan dalam Catur Marga.


Dari uraian permasalahan hingga paradigma yang sedang berkembang belakangan dapat digambarkan bahwa kepedulian umat akan dirinya tampak kian bangkit. Potensi kebangkitan ini mestinya mendapat sambutan yang arif dari semua pihak, sehingga dapat menjembatani harapan masyarakat dengan konsep-konsep sastra yang telah ada.


Dinamika dan dinamisme pemikiran yang terus berkembang hendaknya kian membuka alur dan cara pandang semua pihak, (lembaga umat ataupun tokoh-tokohnya secara pribadi) agar kerahayuan sebagai tujuan akhir dapat diwujudkan "Agawe Sukaning Len". Dengan harapan apapun aktivitas yang dilakukan tanpa pamrih dan tendensi tertentu hendaknya dilakukan atas keterpanggilan suci dari dalam diri. "Senangi apa yang kamu kerjakan, jangan kerjakan apa yang kamu tidak senangi".


Atarwa weda III.24.5 bekerjalah kamu dengan seratus tangan dan berdana punialah dengan seribu tanganmu


WHD. No. 492 Desember 2007.

HARI SUCI SIWARATRI DAN KAITANNYA DENGAN CERITA TANTRI

Hari Raya Siwaratri merupakan han raya berdasarkan atas pranata masa yang dirayakan setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada Purwaning Tilem Kepitu. Untuk tahun ini Malam Siwaratni jatuh pada tanggal 16 Januari 2008. Hari suci Siwaratri sangat identik dengan begadang semalam suntuk serta cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu Tanakung. “Siwaratri” berasal Siwa dan Ratri. Siwa artinya Puncak dan Ratri artinya malam. Siwaratri berarti puncak malam. Sedangkan difinisi menurut Tjok Rai Sudharta “Siwaratri artinya malam Siwa. Siwa berasal dari bahasa sansekerta yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar terhadap menifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa yang diberi nama gelar kehormatan “Dewa Siwa” yang berfungsi sebagai pemralina atau pelebur. Ratri artinya malam. Malam disini maksudnya kegelapan. Jadi Siwaratri artinya malam untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang terang. Hari Siwaratri menyimpan makna serta simbul yang sangat mendalam sebagai bahan renungan yang tak pernah habis untuk dikaji. Tidak cukup hanya dengan prosesi ritualitas semata, melainkan harus dipahami makna-makna yang terkandung didalamnya. Dengan adanya pemahaman yang benar serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka hari suci keagamaan akan sesuai dengan tujuan perayaan hari raya tersebut. Kegiatan ritual Siwaratri mesti dilaksanakan sesuai petunjuk sastra. Di samping itu juga tidak kalah pentingnva yakni merealisasikan makna-makna simbolis yang terkandung didalamnya ke dalam wujud/kehidupan sehari-hari.
Uraian tentang Siwaratri terdapat dalam beberapa kitab seperti Siwa Purana (bagian Jnanasamhita), Skanda Purana (bagian Kedakarakanda), Garuda Purana (bagian Acarakanda), Padma Purana (bagian Uttarakanda). Perayaan Siwaratri di Bali banyak didasari oleh kekawin Siwaratrikalpa, yang lebih dikenal dengan kekawin Lubdhaka. Kitab ini karya Mpu Tanakung pada zaman Majapahit akhir (kuartal ke-3 abad ke-15). Jadi tidak benar jika dikatakan Mpu Tanakung membuat kekawin Lubdhaka untuk menjilat Raja Ken Arok. Karya-karya Beliau yang lainnya seperti Wrettasancaya, Bhanawa Sekar, kekawin Patibrata, Pujaning Smara, Bhasa Sedanayoga, Bhasa Amretamasa, Bhasa Gumiringsing, Bhasa Tanakung, Bhasa Sangutangis, dan Bhasa Kinalisan. Berdasarkan Kekawin Siwaratri Kalpa, pelaksanaan Brata Siwaratri yaitu: pada hari ke-14 tersebut, pagi harinya kita menghadap kepada Pendeta (Guru) untuk memaklumkan bahwa kita akan melakukan Brata. Setelah mandi dan membersihkan badan serta mengenakan pakaian putih, melakukan pemujaan kepada Siwa dilanjutkan dengan Mona Brata (tidak berbicara). Pada waktu siang hingga malam kita tidak tidur dan selalu memuja Sang Hyang Siwa dalam perwujudan Siwalingga yang bersemayam di alam Siwa, didahului dengan memuja Hyang Gana dan Hyang Kumara. Pada malam harinya melakukan Yamapat sesuai dengan kemampuan. Bunga yang dipergunakan untuk pemujaan antara lain bunga menuri, kanyiri, gambir, kecubung, widuri putih, putat, asoka, nagasari, tangguli, bakula, kalakma, cempaka, seroja merah putih biru. Yang utama adalah pucuk muda daun bila dan bunga sulasih untuk memuja Siwa. Segala wewangian, dupa, susu, lampu, sajen bubur dicampur susu, bubur kacang hijau dicampur gula merah, buah-buahan, nasi, lauk-pauk disiapkan untuk pemujaan Siwa.

Makna Brata Siwaratri dalam kehidupan sehari-hari Pada waktu pelaksanaan Brata Siwaratri sebagai lambang yang bennilai sakral bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat buruk. Menurut Tjok Rai Sudharta, brata Siwaratri berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “Brata” artinya janji, sumpah, pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati. Brata Siwaratri dapat disimpulkan sebagai laku utama/janji untuk berteguh hati melaksanakan ajaran Siwaratri. Brata Siwaratri tidak berhenti sampai pelaksanaan Hari Raya Siwaratri saja, melainkan perlu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya aplikasi/wujud dalam kehidupan sehari-hari maka hari raya itu akan tanpa makna dan akan lewat begitu saja. Brata Siwaratri dilaksanakan selama 36 jam. Brata ini mulai dan pukul 06.00 panglong ping 1 sampai pukul 18.00 Tileming sasih Kepitu. Brata Siwaratri dengan melaksanakan upawasa, monobrata dan jagra.
1. Jagra (berjaga/tidak tidur/melek/ waspada) Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua orang mampu untuk tidur semalam suntuk. Dalam cerita Lubdhaka jagra ini disimbolkan oleh Lubdhaka yang tidak tidur di atas pohon bila semalam suntuk. Untuk mengusir kantuknya Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga dosanya terlebur. Jagra dalam pelaksanaan Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan tidak tidur semalam 36 jam.
Dalam kehidupan sehari-hari makna jagra ini dapat diaplikasikan dengan cara selalu eling (waspada, ingat, berfikir, dll.) terhadap sang diri. Dalam kehidupan ini kita tidak bisa lepas dan musuh-musuh, baik itu yang berasal dari dalam diri (sad ripu, sapta timira dan Sad atatayi) maupun dari luar diri. Untuk menghadapi musuh-musuh tersebut diperlukan kewaspadaan yang relatif tinggi, sehingga kita bisa terlepas dari musuh-musuh tersebut. Kewaspadaan yang tinggi tentunya diperoleh dengan menggunakan pikiran.
Kedatangan Hari Suci Siwaratri mengajak kita untuk merenung agar selalu tetap mawas diri dan menyadari diri kita yang sejati. Sebagaimana tersurat didalam Wrehaspati Tatwa, bahwa nafsu dan keinginan tidak pernah putus didalam diri kita. Kesadaran akan lenyap bila kita hanya tidur. Orang yang selalu terbelenggu oleh tidur (turu) disebut dengan papa. Pengertian papa sangat berbeda dengan pengertian dosa. Pengertian papa dalam hal ini adalah keadaan yang selalu terbelenggu oleh raga atau indriya yang dinyatakan sebagai turu (tidur). Tidur berarti juga malas. Orang yang malas bekerja akan menimbulkan kekacauan pikiran sehingga lupa akan keberadaan dirinya sendiri. Dengan demikian pikiran merupakan sumber segala yang dilakukan oleh seseorang. Baik-buruk perbuatan manusia merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik dan suci pikiran seseorang maka sudah barang tentu perbuatan dan segala penampilan akan bersih dan baik. Berusaha berpikir untuk tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, berfikir buruk serta percaya dengan hukum karma.
Dalam hidup ini semasih kita mampu, perlu diisi dengan kerja yang sesuai dengan dharma. Mengenai kerja ini dinyatakan oleh Bhagawadgita III sebagai berikut: III.3 O, Arjuna, manusia tanpa noda; di dunia ini ada dua jalan hidup yang telah Aku ajarkan dari jaman dahulu kala. Jalan ilmu pengetahuan bagi mereka yang mempergunakan pikiran dan yang lain dengan jalan pekerjaan bagi mereka yang aktif.
III. 4 Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak melepaskan diri orang akan mencapai kesempurnaan.
III. 5 Sebab siapa pun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun sekejap mata, tanpa melakukan pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya dengan tidak berdaya apa-apa lagi.
III. 20 Hanya dengan penbuatan, Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kamu harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk memelihara dunia.
Di samping untuk memelihara dunia yang kita pijak ini, kerja juga dapat menghindari kehancuran duniĆ¢ baik secara spiritual maupun material. Disamping itu juga, kerja dapat meningkatkan kedudukan sehingga menjadi manusia yang lebih sempurna. Jika kita sudah bekerja maka dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap orang lain. Disamping itu, diharapkan untuk tidak terikat dengan hasil pekerjaan yang kita lakukan. Hasil yang diperoleh dari kerja diharapkan untuk sumbangkan kepada yang membutuhkan.
2. Upawasa (tidak makan dan minum) Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri dalam hal makan dan minum. Pada waktu Siwaratri puasa ini dilakukan dengan jalan tidak makan dan minum. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diaplikasikan dengan cara selalu makan makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh jasmani maupun rohani. Disamping itu, dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita makan hendaknya dicari dengan usaha-usaha yang digariskan oleh dharma.
Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif dalam hal makan dan minum. Makanan yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh, juga nanti akan bersinergi membentuk dan merangsang pikiran, perkataan dan perbuatan. Kualitas makan akan mempengaruhi intensitas Tri Guna (sattwam, rajas dan tamas) pada manusia. Makanan yang kita makan hendaknya dimasak oleh orang yang berhati baik yang memperhatikan kesucian dan gizi dari makanan tersebut. Disamping itu juga, cara memasak makanan perlu memperhatikan tentang suci dan cemar, bersih dan kotor serta cara penyajian makanan. Mengenai makanan dinyatakan dalam Bhagawadgita sebagai berikut:
III.13 Orang yang makan apa yang tersisa dan yadnya, mereka itu terlepas dan segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
XVII. 7 Bahkan makanan yang disenangi oleh semua, adalah tiga macam juga. Demikian juga yadnya-yadnya, tapa dan dana. Dengarkanlah perbedaan dari semua ini.
XVII. 8 Makanan-makanan yang meninggikan hidup, tenaga, kekuatan, kesehatan dan suka cita, yang manis yang lunak, banyak mengandung zat-zat makanan dan rasa enak adalah yang disukai oleh orang yang baik (sattwika).
XVII. 9 Makanan-makanan yang terlalu pahit, masam, asin, pedas, kering, keras dan angus dan menimbulkan kesakitan, duka cita dan pen yakit disukai oleh orang yang bernafsu (rajasika).
XVII. 10 Makanan yang basi, hambar, berbau, dingin, sisa kemarinnya dan kotor adalah yang disukai oleh orang yang bodoh (tamasika).
Disamping makanan, minuman juga diatur oleh sastra agama. Minuman yang dilarang orang agama yaitu minuman yang banyak mengandung penyakit sehingga mempengaruhi pikiran. Minuman yang perlu dihindari yakni minuman yang menyebabkan mabuk. Orang yang sering mabuk prilakunya akan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku dan berbuat. Jika dilandasi dengan ajaran agama sudah barang tentu perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang baik dan benar. Oleh karena itu, perbuatan yang baik dan benar tersebut dinamakan Kayika Parisudha. Setiap orang selagi masih hidup, selamanya akan berbuat dan melakukan sesuatu perbuatan (karma). Karma ini akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam kehidupan sekarang ini berarti mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang. Orang yang sadar/eling akan berusaha dalam kehidupannya untuk berbuat yang baik berdasarkan darma. Hal ini disebabkan karena semua orang mengharapkan adanya kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dimasa-masa yang akan datang.
3. Monobrata (berdiam diri/tidak bicara) Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak mengeluarkan kata-kata. Brata ini relatif sulit untuk dilakukan. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari berata ini yakni berkata-kata atau berbicara yang dapat menyejukkan hati orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan dan diteliti sebelum dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting bagi manusia, guna menyampaikan isi hati dan maksud seseorang. Dari kata-kata kita memperoleh ilmu pengetahuan, mendapat suatu hiburan, serta nasehat nasehat yang sangat berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam Niti Sastra V. 3 disebutkan sebagai berikut: Wacika nimittanta manemu laksmi, Wacika nimittanta manemu duhka, Wacika nimittanta pati kapangguh, Wacika nimittanta manemu lmitra, Artinya : Karena perkataan memperoleh bahagia, Karena perkataan menemui kesusahan, Karena perkataan menemukan kematian Karena perkataan memperoleh sahabat.
Kata-kata yang baik, benar dan jujur serta diucapkan dengan lemah lembut akan memberikan kenikmatan bagi pendengarnya. Dengan perkataan seseorang akan memperoleh kebahagiaan, kesusahan, teman dan kematian. Hal ini akan memberi arti yang sesungguhnya tentang kegunaan kata dan ucapan sebagai sarana komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Perkataan yang baik, sopan, jujur dan benar itulah yang perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menghindari kata-kata jahat menyakitkan, kotor (ujar ahala), keras, menghardik, kasar (ujar apergas), memfitnah (ujar pisuna), bohong (ujar pisuna) dan lain-lain yang perlu dihindari dalam pergaulan. Adanya 10 (sepuluh) pengendalian diri yang dapat dilakukan dalam kehidupan yang disebut karmaphala. Hal ini sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat dalam Sarasamuscaya 73 sebagai berikut: Hana karmaphatha ngaranya, khrtaning indriya, sepuluh kwehnya, ulakena, kramanya : prawerttiyaning manah sakareng, telu kwehnya, ulahaning wak pat pwarttyaning kaya, telu pinda sepuluh, prawerttyaning kaya, wak, manah kengeta” Artinya: adalah karmapatha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya yang patut dilaksanakan gerak pikiran tiga (3) banyaknya, ucapan/perkataan empat (4) jumlahnya, gerak tindakan/laksana tiga (3) banyaknya, Jadi sepuluh (10) jumlahnya perbuatan yang timbul dan gerakan badan, perkataan, dan pikiran, itulah yang patut dilaksanakan.
Dengan demikian, hakekatnya Hari Suci Siwaratri adalah sebagai media introsfeksi diri untuk senantiasa mawas diri serta menyadari akan Sang Diri Sejati. Siwaratri bukanlah malam penebusan dosa, tetapi malam yang disediakan secara khusus untuk senantiasa mencapai kesadaran akan Sang Diri. Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan perbuatan dosa dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri justru yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang sangat menyiksa. Mari dalam Siwaratri dan diawal tahun 2008 mulai kembali memburu kebajikan dengan membunuh musuh-musuh dalam diri dengan memohon tuntunan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.


WHD. No. 492 Desember 2008.

FUNGSI SULINGGIH DALAM PELAKSANAAN UPACARA KEAGAMAAN DI BALI

Dalam pandangan agama Hindu di Bali Hyang Widhi adalah "Sang sangkanparaning dumadi" artinya, Hyang Widhi sebagai asal dan tujuan hidup manusia, sehingga manusia memposisikan dirinya sebagai hamba Hyang Widhi.


Kesadaran seperti ini menumbuhkan bhakti marga antara lain dalam bentuk yadnya.Upacara Yadnya yang didasari oleh perasaan tulus iklas dan bakti adalah suatu kegiatan baik. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam ruang lingkup perorangan maupun kegiatan kelompok masyarakat misalnya upacara-upacara: mapiuning,pengaci, mapajati, bhakti pamungkah, dll. yang realisasinya mendapat pengesyahan dari : "Tri upasaksi" yaitu : Bhuta saksi, Manusa saksi, dan Dewa saksi. Prajuru-prajuru adat berperan sebagai manusa saksi. Adat sering pula berperan sebagai : perancang, pelaksana, dan pengawas suatu upacara keagamaan pada kelompoknya.Dalam tulisan ini saya akan melihat fungsi dan peranan sulinggih dalam kegiatan keagaman di Bali.




Dalam lontar Ekapratama disebutkan bahwa terdapat tiga kelompok Sulinggih masing-masing bertugas sebagai berikut : kelompok Sulinggih yang berpaham Bujangga amretista Bhurloka, kelompok Sulinggih yang berpaham Bodda amretista Bwahloka,dankelompok Sulinggih yang


berpaham Siwa amretista Swahloka.


Sulinggih dalam tradisi Hindu merupakan orang yang sangat dihormati, beliau adalah orang yang dianggap terlahir untuk yang kedua kalinya (Dwijati), setelah kelahiran dari orang tuanya, maka secara simbolis beliau dianggap lahir untuk yang kedua kalinya melalui rahim Weda. Kata sulinggih sendiri berarti tempat duduk yang baik dan terhormat, walaka yang telah melinggih, duduk,ditempat,yang,baru,meninggalkan,kewalakaannya,melalui,ritual,


pediksaan/dwijati,yang,khusus. jadi seorang sulinggih adalah beliau yang memang selayaknya diberikan tempat terhormat karena kesucian dan pemahamannya terhadap sastra-sastra suci. Sulinggih dikenal dengan berbagai sebutan sesuai dengan konteks warga/kasta mereka masing-masing .
Dari warga Ida Bagus/Dayu diberi sebutan Ida Pedanda, dari warga Pasek memberinya nama Sri Mpu, dari warga Pande memberi nama Sira Empu, dari warga Bujangga disebut Rsi, sementara dari sampradaya yang ada, misalnya dari Kesadaran Krisna memberi nama Brahmana, dan masih ada lagi yang lainnya di luar Bali, seperti romo, pandita, basir, dll.
Pada Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, ditetapkan sebagai berikut : Umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat-syarat : 1. Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyuklabrahmacari 2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kania)3. Pasangan suami/istri 4. Umur minimal 40 tahun 5. Paham Bahasa Kawi, Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran-ajaran agama 6. Sehat lahir bathin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana . 7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana 8. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabe-nya yang akan menyucikan 9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan

Dalam kitab Sarasamusccaya beliau diberi predikat :
-Satya Wadi : selalu menyuarakan kebenaran
-Satya Apta: beliau yang patut dihormati dan diteladani
-Sang Patirthan : sebagai tempat umat mendapatkan penyucian
-Sang Penadahan Upadesa : beliau yang memberikan penerangan spiritual kepada umatnya yang berada dalam kegelapan.


Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang Katrini Katon” yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”.


Kemudian kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka juga adalah“Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia” karena kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia.


Fungsi Sulinggih :


1. Memimpin warga dalam upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuaidengan perannya sebagai "Guru Loka".


2. "Ngelokaparasraya" yaitu menjadi sandaran/tempat bertanya tentang kerohanian,pelindung /penuntun dan pengayom masyarakat di bidang


Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara “ muput” upacara ritual atas permintaan warga.


Lokaparasraya berasal dari Lokapalasraya, atau Loka-Pala-Asraya. Loka artinya masyarakat, Pala artinya melindungi, dan Asraya artinya dekat bersandar. Jadi lokaparasraya artinya tempat berlindung mencari kedamaian dan ketentraman serta tempat bersandar masyarakat (pasif) dan menjadi pengayom, pembela, panutan, pendidik masyarakat (aktif).


Menurut konsepsinya semua sulingih berwenang muput segala upacara/upakara yadnya.Dalam kitab suci yang tergolong Smerti seperti Manawa Dharma sastra X.4 dan Sarascamucaya 55 secara konsepsional menegaskan bahwa semua golongan warna yaitu Brahma,Ksatria,dan Waisya kecuali Sudra boleh melakukan dwijati.Artinya bisa dinobatkan sebagai sulinggih (pandita)sekaligus memiliki wewenang untuk memuput upacara Panca Yadnya dengan segala tingkatannnya.




Melalui sabda Parisadha Hindu Dharma II tahun 1968 juga telah dikeluarkan Surat keputusan PHDP Nomor :V/Kep.PHDP/68 tentang Tata Keagaman (Kesulinggihan,Upacara dan Tempat Suci) yang kemudian dipertegas berdasarkan keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek aspek Agama Hindu ke 14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa dimana dinyatakan bahwa semua umat Hindu dari segalan warga yang telah memenuhi syarat syarat sebagaimana ditenetukan dapat dan boleh disucikan(didiksa) sebagai pandita.Tentunya dengan abhiseka (gelar)yang berbeda seperti Pedanda(Brahmana) Bhagawan (Ksatria),Resi(Waisya),Bhujangga(Weswawa),Empu (Pande),Dukuh(Pasek).Kesua sulinggih dari dari kelompok warga yang berbeda beda ini tentunya sama kedudukannya dan wewengannya dalam memimpin upacara Panca Yadnya.Bahwa kemudian di dalam kenyataan terdapat perbedaan perlakuaan agaknya persoalannya tidak bisa dilepaskan dari situasi sejarah di waktu lampau).


Sebagaimana diketahui dizaman dimana kerajaan menjadi faktor sentral dalam mengatur tatanan kehidupan termasuk kehidupan beragama,raja selakusang penguasa mempunyai hak dan wewenang penuh untuk mengatur dengan membuat ketentuan ketentuan yang dipandang patut pada saat itu.Ketentuan-ketentuan itu adakalanya disuratkandi dalam lontar yang setelah melaui proses pasupati dijadikan pedoman untuk ditaati seketurunannya.Didalam Ekapratama yang menyuratkan bahwa yang bertugas atau berwenang muput upacara Panca Yadnya adalah Tri Sadaka yang terdiri dari Siwa,Pandita Boda,Pandita Bhujangga .Ketiga pandita inilah yang disebut sebut berfungsi sebagai Sang Tri Bhuwana Katon.Disuratkan Saking Brahma aji metu tikang Katrini anua ingaran Sang Siwa,pemade ingaran Sang Boda kapitut ngaran Sang Bujangga.maksudnya dari Brahman(Hyang Widi)lahir Sang Katrini.Yang tertua bernama Sang Siwa,yang kedua bernama Sang Boda dan yang terkecil bernama Sang Bhujangga.Ketiga pandita ini pula yang dikatakan berperan dalam penyucian Tri Buwana yaitu Sang Siwa menyucikan Swahloka(Sorga) Sang Boda menyucikan Bhuwahloka (langit) dan Sang Bhujangga menyucikan Bhurloka(dunia)


Disamping dalam lingkup penyelenggaraan upacara, Sulingggih berperan pula sebagai pemikir dan pendorong emosional bagi warganya kearah bhakti pada Hyang Widhi. Unsur kesucian perorangan dan lingkungan dalam kaitan penghormatan dan pengabdian kepada Hyang Widhi diwujudkan dalam awig tentang cuntaka dan kekeran desa oleh adat atas petunjuk dari Sulinggih.




Sumber : -http://stitidharma.org/main


Desa Pakraman (Kritik Majalah Raditya edisi 139) oleh Ida Bagus Wika Krisna


Putrawan ,I Nyoman,Mengenal Kebudayan Bali,Raditya,2008.