Thursday, June 4, 2009

FUNGSI SULINGGIH DALAM PELAKSANAAN UPACARA KEAGAMAAN DI BALI

Dalam pandangan agama Hindu di Bali Hyang Widhi adalah "Sang sangkanparaning dumadi" artinya, Hyang Widhi sebagai asal dan tujuan hidup manusia, sehingga manusia memposisikan dirinya sebagai hamba Hyang Widhi.


Kesadaran seperti ini menumbuhkan bhakti marga antara lain dalam bentuk yadnya.Upacara Yadnya yang didasari oleh perasaan tulus iklas dan bakti adalah suatu kegiatan baik. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam ruang lingkup perorangan maupun kegiatan kelompok masyarakat misalnya upacara-upacara: mapiuning,pengaci, mapajati, bhakti pamungkah, dll. yang realisasinya mendapat pengesyahan dari : "Tri upasaksi" yaitu : Bhuta saksi, Manusa saksi, dan Dewa saksi. Prajuru-prajuru adat berperan sebagai manusa saksi. Adat sering pula berperan sebagai : perancang, pelaksana, dan pengawas suatu upacara keagamaan pada kelompoknya.Dalam tulisan ini saya akan melihat fungsi dan peranan sulinggih dalam kegiatan keagaman di Bali.




Dalam lontar Ekapratama disebutkan bahwa terdapat tiga kelompok Sulinggih masing-masing bertugas sebagai berikut : kelompok Sulinggih yang berpaham Bujangga amretista Bhurloka, kelompok Sulinggih yang berpaham Bodda amretista Bwahloka,dankelompok Sulinggih yang


berpaham Siwa amretista Swahloka.


Sulinggih dalam tradisi Hindu merupakan orang yang sangat dihormati, beliau adalah orang yang dianggap terlahir untuk yang kedua kalinya (Dwijati), setelah kelahiran dari orang tuanya, maka secara simbolis beliau dianggap lahir untuk yang kedua kalinya melalui rahim Weda. Kata sulinggih sendiri berarti tempat duduk yang baik dan terhormat, walaka yang telah melinggih, duduk,ditempat,yang,baru,meninggalkan,kewalakaannya,melalui,ritual,


pediksaan/dwijati,yang,khusus. jadi seorang sulinggih adalah beliau yang memang selayaknya diberikan tempat terhormat karena kesucian dan pemahamannya terhadap sastra-sastra suci. Sulinggih dikenal dengan berbagai sebutan sesuai dengan konteks warga/kasta mereka masing-masing .
Dari warga Ida Bagus/Dayu diberi sebutan Ida Pedanda, dari warga Pasek memberinya nama Sri Mpu, dari warga Pande memberi nama Sira Empu, dari warga Bujangga disebut Rsi, sementara dari sampradaya yang ada, misalnya dari Kesadaran Krisna memberi nama Brahmana, dan masih ada lagi yang lainnya di luar Bali, seperti romo, pandita, basir, dll.
Pada Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, ditetapkan sebagai berikut : Umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat-syarat : 1. Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyuklabrahmacari 2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kania)3. Pasangan suami/istri 4. Umur minimal 40 tahun 5. Paham Bahasa Kawi, Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran-ajaran agama 6. Sehat lahir bathin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana . 7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana 8. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabe-nya yang akan menyucikan 9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan

Dalam kitab Sarasamusccaya beliau diberi predikat :
-Satya Wadi : selalu menyuarakan kebenaran
-Satya Apta: beliau yang patut dihormati dan diteladani
-Sang Patirthan : sebagai tempat umat mendapatkan penyucian
-Sang Penadahan Upadesa : beliau yang memberikan penerangan spiritual kepada umatnya yang berada dalam kegelapan.


Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang Katrini Katon” yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”.


Kemudian kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka juga adalah“Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia” karena kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia.


Fungsi Sulinggih :


1. Memimpin warga dalam upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuaidengan perannya sebagai "Guru Loka".


2. "Ngelokaparasraya" yaitu menjadi sandaran/tempat bertanya tentang kerohanian,pelindung /penuntun dan pengayom masyarakat di bidang


Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara “ muput” upacara ritual atas permintaan warga.


Lokaparasraya berasal dari Lokapalasraya, atau Loka-Pala-Asraya. Loka artinya masyarakat, Pala artinya melindungi, dan Asraya artinya dekat bersandar. Jadi lokaparasraya artinya tempat berlindung mencari kedamaian dan ketentraman serta tempat bersandar masyarakat (pasif) dan menjadi pengayom, pembela, panutan, pendidik masyarakat (aktif).


Menurut konsepsinya semua sulingih berwenang muput segala upacara/upakara yadnya.Dalam kitab suci yang tergolong Smerti seperti Manawa Dharma sastra X.4 dan Sarascamucaya 55 secara konsepsional menegaskan bahwa semua golongan warna yaitu Brahma,Ksatria,dan Waisya kecuali Sudra boleh melakukan dwijati.Artinya bisa dinobatkan sebagai sulinggih (pandita)sekaligus memiliki wewenang untuk memuput upacara Panca Yadnya dengan segala tingkatannnya.




Melalui sabda Parisadha Hindu Dharma II tahun 1968 juga telah dikeluarkan Surat keputusan PHDP Nomor :V/Kep.PHDP/68 tentang Tata Keagaman (Kesulinggihan,Upacara dan Tempat Suci) yang kemudian dipertegas berdasarkan keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek aspek Agama Hindu ke 14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa dimana dinyatakan bahwa semua umat Hindu dari segalan warga yang telah memenuhi syarat syarat sebagaimana ditenetukan dapat dan boleh disucikan(didiksa) sebagai pandita.Tentunya dengan abhiseka (gelar)yang berbeda seperti Pedanda(Brahmana) Bhagawan (Ksatria),Resi(Waisya),Bhujangga(Weswawa),Empu (Pande),Dukuh(Pasek).Kesua sulinggih dari dari kelompok warga yang berbeda beda ini tentunya sama kedudukannya dan wewengannya dalam memimpin upacara Panca Yadnya.Bahwa kemudian di dalam kenyataan terdapat perbedaan perlakuaan agaknya persoalannya tidak bisa dilepaskan dari situasi sejarah di waktu lampau).


Sebagaimana diketahui dizaman dimana kerajaan menjadi faktor sentral dalam mengatur tatanan kehidupan termasuk kehidupan beragama,raja selakusang penguasa mempunyai hak dan wewenang penuh untuk mengatur dengan membuat ketentuan ketentuan yang dipandang patut pada saat itu.Ketentuan-ketentuan itu adakalanya disuratkandi dalam lontar yang setelah melaui proses pasupati dijadikan pedoman untuk ditaati seketurunannya.Didalam Ekapratama yang menyuratkan bahwa yang bertugas atau berwenang muput upacara Panca Yadnya adalah Tri Sadaka yang terdiri dari Siwa,Pandita Boda,Pandita Bhujangga .Ketiga pandita inilah yang disebut sebut berfungsi sebagai Sang Tri Bhuwana Katon.Disuratkan Saking Brahma aji metu tikang Katrini anua ingaran Sang Siwa,pemade ingaran Sang Boda kapitut ngaran Sang Bujangga.maksudnya dari Brahman(Hyang Widi)lahir Sang Katrini.Yang tertua bernama Sang Siwa,yang kedua bernama Sang Boda dan yang terkecil bernama Sang Bhujangga.Ketiga pandita ini pula yang dikatakan berperan dalam penyucian Tri Buwana yaitu Sang Siwa menyucikan Swahloka(Sorga) Sang Boda menyucikan Bhuwahloka (langit) dan Sang Bhujangga menyucikan Bhurloka(dunia)


Disamping dalam lingkup penyelenggaraan upacara, Sulingggih berperan pula sebagai pemikir dan pendorong emosional bagi warganya kearah bhakti pada Hyang Widhi. Unsur kesucian perorangan dan lingkungan dalam kaitan penghormatan dan pengabdian kepada Hyang Widhi diwujudkan dalam awig tentang cuntaka dan kekeran desa oleh adat atas petunjuk dari Sulinggih.




Sumber : -http://stitidharma.org/main


Desa Pakraman (Kritik Majalah Raditya edisi 139) oleh Ida Bagus Wika Krisna


Putrawan ,I Nyoman,Mengenal Kebudayan Bali,Raditya,2008.



No comments:

Post a Comment