Landasan sastra:
Weda Smrti (lontar).
Manawa dharma sastra Bab IV, sloka 33, 226.
Sarasamuçcaya sloka Nomor 175, 176, 192, 198, 217,
178, 207, 210, 211, 182, 183, 184, 222, 181, 202,
Ajaran dana punia dijumpai dalam berbagai pustaka suci terutama bagian Smertinya, bahkan dalam Upanishad (Chandogya Upanishad) telah tercantum, pengamalan ajaran tersebut, secara traditional telah dilaksanakan oleh umatnya melalui kegiatan ritual keagamaan, praktek, dana punia selalu dikaitkan
Tujuan Pembangunan Nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, yang sejahtera lahir batin, yang searah dengan: tujuan agama Hindu yaitu Jagathita dan moksa. Bahwa sebagai akibat dari derasnya pembangunan nasional didasarkan tumbuhnya kemampuan umat yang lebih tinggi dan di lain pihak timbullah berbagai masalah yang perlu mendapat perhatian kita melalui dana punia itu.
Memotivasi umat Hindu untuk berdana punia terutama bagi yang mampu, kemudian secara berkoordinasi diarahkan untuk membantu mereka yang tidak mampu, adalah suatu hal yang sangat mulia untuk mewujudkan kesejahteraan sosial itu. Pengamalan ajaran dana punia yang secara tradisional dilaksanakan lewat ritual keagamaan dari kelembagaan adat, perlu diangkat ke permukaan, kemudian diarahkan kepada sasaran yang lebih luas.
Pengertian dana punia.
Dana punia terdiri dan dua kata, yaitu dana yang artinya pemberian, punia, berarti selamat, baik, bahagia, indah dan suci. Jadi dana punia adalah pemberian yang baik dan suci. Landasan Filosofis : Tat Twam Asi.
Semangat Yajna dalam bentuk punia dalam Bhagawadgita di katakan bahwa: seseorang jangan pernah berhenti melaksanakan Yajna, Tapa, dan Dana. Karena ketiganya akan menyucikan seseorang. Pertanyaan yang muncul adalah Yajna, Tapa dan Dana yang seperti apa dapat menyucikan diri manusia? Sudah jelas yang didasari ketulusan, kerelaan dan welas asih serta semua itu tidak semata-mata karena kebetulan, tetapi dilakukan dalam semangat dan kesadaran.
Berpahala tidaknya punia itu, demikian juga Tapa dan Yajna yang dilakukan umat berpulang pada tulus tidaknya umat melakukan aktivitas dimaksud. Sebab hanya semangat yang didasari ketulusan akan memberikan pahala kesucian bagi kita semua.
Pergolakan Pemikiran Seputar Dana Punia
Ada fenomena menarik dari wacana dana punia yang pernah berkembang beberapa waktu yang lalu. Dua kubu yang menyoroti keberadaan "Dana Punia" mesti dirumuskan ke dalam perangkat formal (baca : Bhisama), yang terkesan semangatnya adalah keharusan dan "dipaksakan". Serta kubu yang tetap menganggap bahwa "punia" adalah urusan tulus tidaknya umat dalam memberikan punianya bagi siapa saja dan dalam bentuk apa saja. Artinya bahwa keterpanggilan untuk beryajna dalam bentuk "punia" lebih mulia bila tidak didasari keterpaksaan.
Bila dicermati fenomena dualisme pemikiran tersebut sesungguhnya tidak menjadi fenomena yang barit. Menyimak tulisan AA, Rai Dwipayana (Bali Post tanggal 6 Nopember 2002, hal 11) dikatakan : Apakah Hindu ingin menerapkan punia itu seperti dalam kehidupan bernegara? Selayaknya pajak bagi setiap orang? Jelas dimensi wacana tersebut adalah menolak upaya-upaya pemaksaan terhadap keinginan umat dalam berdana punia.
Fungsi retributif yang dijalankan agama mestinya tidak layaknya negara, yang dengan fungsi autoritatifnya dapat memaksa siapa saja dalam wadah negara dimaksud. Agama terlebih Hindu sangat kuat berpegang pada "Satyam, Sivam, Sundaram dan Asih, Punia, Bhakti dalam segala aspek kehidupannya.
Kendati "Bhisama" dikatakan sebagai penegasan kembali semangat dana punia oleh umat, namun dalam hal ini tentunya perlu dicermati secara lebih mendalam. Sebab permasalahan dana punia bukan saja masalah ketidak-percayaan umat terhadap institut atau lembaga keumatan, lebih lagi adalah sebagai wujud, theologis yang berkaitan dengan konsepsi Ketuhanan dalam agama Hindu. Hal ini perlu dicatat bahwa Hinduisme tidak didasarkan pada sederetan agama yang dikhotbahkan oleh sekelompok guru tertentu. Hinduisme lepas dari kefanatikan (Sivananda, 1993: 2) Hinduisme, tidak seperti agama-agama lain, tidak secara dogmatif menyatakan bahwa pembebasan akhir dimungkinkan hanya dengan caranya sendiri, yang tidak dimungkinkan cara lain. Konsep itu jualah yang diharfiahkan dalam Catur Marga.
Dari uraian permasalahan hingga paradigma yang sedang berkembang belakangan dapat digambarkan bahwa kepedulian umat akan dirinya tampak kian bangkit. Potensi kebangkitan ini mestinya mendapat sambutan yang arif dari semua pihak, sehingga dapat menjembatani harapan masyarakat dengan konsep-konsep sastra yang telah ada.
Dinamika dan dinamisme pemikiran yang terus berkembang hendaknya kian membuka alur dan cara pandang semua pihak, (lembaga umat ataupun tokoh-tokohnya secara pribadi) agar kerahayuan sebagai tujuan akhir dapat diwujudkan "Agawe Sukaning Len". Dengan harapan apapun aktivitas yang dilakukan tanpa pamrih dan tendensi tertentu hendaknya dilakukan atas keterpanggilan suci dari dalam diri. "Senangi apa yang kamu kerjakan, jangan kerjakan apa yang kamu tidak senangi".
Atarwa weda III.24.5 bekerjalah kamu dengan seratus tangan dan berdana punialah dengan seribu tanganmu
☼WHD. No. 492 Desember 2007.
No comments:
Post a Comment